stupid journey, stupid location, stupid photograph

Sabtu, 15 September 2007

Lima Puluh Persen Luas Kota Bandung

dealnya, sepuluh persen dari keseluruhan luas kota harus merupakan hutan kota. Ini pun diatur dalam Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan. Di Kota Bandung sendiri, lahan terbuka dan lahan hijaunya tinggal 1,5 persen dari luas kota yang mencapai lebih dari 16 ribu hektar.
Menurut Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Ir. Mubyar Purwasasmita, sebaiknya saat ini bukan menitikberatkan upaya penghijauan dengan pembuatan taman-taman kota.
“Sangat esensial bagaimana membuat hutan kota di Bandung. Alasannya banyak, diantaranya cekungan Bandung adalah hulu dari Sungai Citarum. Bandung itu cekungan dan perlu sirkulasi udara yang lebih bagus. Hutan kota ini pepohonannya harus pohon keras. Jadi bukan bunga-bungaan saja, misalnya Ki Hujan yang banyak terdapat di Taman Pramuka,” kata Mubyar di sela-sela acara peringatan hari jadi ke-4 DPKLTS, Sabtu (10/09).
Mubyar mengatakan, angka sepuluh persen ini masih dimungkinkan untuk dipenuhi karena kita punya sempadan jalan, sempadan sungai, dan lahan terbuka lainnya. Bahkan, menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS lainnya, Ir. Soepardiyono Sobirin, angka itu bisa lebih besar, mencapai lima puluh persen.
“Lahan yang bisa dihijaukan di Kota Bandung ini sekitar 50 persennya. Di mana saja itu? Diantaranya di kuburan, jalur hijau, pekarangan-pekarangan rumah, dan pinggir rel kereta api,” ujar Sobirin. “Pekarangan-pekarangan rumah itu paling banyak. Satu pohon kan untuk dua orang. Penduduk Kota Bandung hampir 3 juta, jadi 1,5 juta pohon. Yang ada sekarang kan baru 600 ribu pohon,” lanjutnya.
Untuk memulihkan kembali hutan kota di Bandung, ada sejenis pohon yang bisa menjadi pertolongan pertama, yaitu kersen. Sobirin menjelaskan, kersen punya sejumlah kelebihan, seperti bisa hidup di daerah comberan, mampu mengurangi bau comberan, dan tumbuh besar dalam satu tahun.
“Baru setelah itu pilih pohon yang tepat di tempat yang tepat, the right tree on the right place,” tukasnya.
Soal hutan kota, Bandung sangat berbeda dengan Singapura yang memproklamirkan diri menjadi jungle town. Di Singapura tidak ada istilah kawasan lindung karena seluruh kawasannya justru menjadi kawasan lindung.
“Seluruhnya hutan, pemukiman itu enclave. Kalau di sini hutannya yang enclave,” kata Sobirin.
Sobirin tidak menentang rencana-rencana pemerintah setempat membangun monorel dan jalan-jalan tol dalam kota di tahun-tahun mendatang. Menurut Sobirin, kota merupakan kawasan budidaya, namun tetap harus ada kawasan lindungnya. Luas jalan di Kota Bandung sampai saat ini baru 3 persen dari keseluruhan luas kota, jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Tokyo atau San Francisco. Luas jalan di kedua kota tersebut sudah mencapai rata-rata 25 persen dari luas kota. Namun dia mengingatkan, dari seluruh luas jalan yang ada di Kota Bandung, sebenarnya hanya sebagian kecil yang efektif digunakan sesuai peruntukannya.
“Laju pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung ini boleh dikatakannya lebih dari 20 persen per tahun. Tapi jalan nggak pernah ada. Sekarang caranya nambah bagaimana? Ya, monorel, tapi harus ramah lingkungan. Kita juga harus melihat kenyataan, dari seluruh jalan yang ada di Kota Bandung, hanya efisien 30 persen, sisanya yang 70 persen itu dipakai jongko PKL, parkir, ngetem. Jadi pantas saja macet,” jelasnya.
Factory-factory outlet di kawasan Dago dituding sebagai biang macet karena tidak punya kantong-kantong parkir. Sobirin menyarankan, sambil berupaya menghemat energi, selain dilakukan pembuatan kantong-kantong parkir besar, Jalan Cihampelas dan Dago, di hari-hari Sabtu atau Minggu, benar-benar dikosongkan dari kendaraan bermotor.

Penghijauan Swadaya Masyarakat
Soal GNRHL dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang dinilai gagal mewujudkan penghijauan, Mubyar Purwasasmita menyarankan agar dana-dana penghijauan kini untuk mengembangkan persemaian-persemaian rakyat.
“Kami sudah mulai mengidentifikasi swadaya masyarakat yang paling berhasil, paling baik. Contohnya itu di Cibugel, di sebelah timur Kareumbi, Kabupaten Sumedang. Masyarakatnya menanam kembali kayu dengan mengumpulkan dana untuk membuat persemaian sendiri, bibit sendiri yang bagus. Jadi kalau mereka dikasih bibit dari luar, malah ditolak karena bibit mereka lebih bagus,” kata Mubyar.
Rakyat sebenarnya tahu tanaman yang mesti ditanam, mutunya, dan sebagainya, tinggal dibantu jika kesulitan mendapatkan benih. Pemberdayaan masyarakat seperti ini, menurut Mubyar, jauh lebih menarik daripada gerakan penghijauan yang menyamaratakan jenis pohon yang ditanam.
“Cibugel itu menggunakan kayu suren. Mereka merasa kayu surennya lebih bagus dari albasia. Bisa ditanam tanpa mengganggu tanaman di sampingnya karena karnya ke bawah. Lalu hamanya sedikit dan teksturnya bagus. Masyarakat berpikir tidak akan menjual kayunya, lebih baik mereka menjual produk dari kayu itu,” terang salah seorang pengajar di ITB ini.
Dalam pengamatan pakar, GNRHL dan GRLK gagal karena dilakukan bukan sebagai hajat rakyat, melainkan sebagai hajat pemerintah. Seharusnya rakyatlah yang diberi dana untuk penghijauan. Kenyataannya, dana penghijauan disalurkan lewat pemborong yang membeli bibit tanaman dari rakyat dengan harga sangat murah. Misalnya bibit dari rakyat yang seharusnya seharga 5 ribu rupiah, hanya dibeli seharga 300 perak.
Tanaman yang dipilih pun tidak cocok dengan tanah setempat dan keinginan rakyat. Penyebab kegagalan lain adalah salah musim tanam. Akibatnya, dari keseluruhan bibit pohon yang ditanam, hanya 30 persennya yang berhasil tumbuh. Sisanya rusak.

Perbedaan Data
Soal data lahan kritis pun, Mubyar dan Sobirin tidak setuju dengan data dari pemerintah. Data itu berbeda dengan yang mereka peroleh dari citra satelit tahun 2004.
Menurut Sobirin, luas wilayah hutan di Jawa Barat ada sekitar 800 ribu hektar, namun wilayah yang masih baik tinggal 300 ribu hektar, sisanya rusak. Sedangkan data dari Gedung Sate menunjukkan lahan kritis itu mencapai 60 ribu hektar. Soal luas wilayah hutan ini pun ada masalah lain. Selama ini kita hanya membiacarakan luas wilayah hutan, tanpa memastikan seberapa banyak dari keseluruhan wilayah itu yang masih tertanami pohon.
“Hutan 800 ribu hektar kalau pohonnya nggak ada percuma. Hutan yang ada sekarang menurut citra satelit tinggal 300 ribu hektar. Yang 500 ribu hektar sudah kritis, seperti di Garut dan Sukabumi,” kata Sobirin.
Perbedaan data juga menimbulkan masalah pada pembagian wilayah hutan produksi dan hutan lindung. Dari luas wilayah Jawa Barat yang 3,7 juta hektar, 45 persennya atau 1,7 juta hektar seharusnya menjadi kawasan lindung. Dari 45 persen itu, 22 persen diantaranya dikuasai negara, dalam hal ini BKSDA dan Perhutani.
“Di situ ada permasalahan karena persepsi Perhutani itu hutan produksinya. Menurut kami masih ada kekurangan hutan produksi yang seharusnya dijadikan hutan lindung. Tapi sekarang Perhutani sudah mengkonversi itu. Ya, seperti di Bandung Utara, hutan produksi semuanya saja dihutanlindungkan. Tapi kira-kira itu angkanya 6 persenan yang harus dikonversi lagi ke hutan lindung,” kata Mubyar.
Empat Tahun DPKLTS
Dalam peringatan hari jadinya ke-4, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menggelar acara Tepung Lawung Mapag Jaman, yang mengambil tema “Menuju Kemandirian Pengelolaan Sumber daya Alam Tatar Sunda melalui Penggalangan Dana Publik”. Peringatan hari jadi digelar di Sekretariat DPKLTS, Jl. R.E. Martadinata No. 189 A, Bandung, Sabtu (10/09).
Lewat acara tersebut, DPKLTS meluncurkan Posko Jabar Peduli Bencana Alam. Posko ini akan mengumpulkan bantuan yang akan disalurkan kepada para korban bencana alam yang banyak diakibatkan oleh kerusakan alam. Secara spontan dalam launching posko, Ketua Dewan Penasihat DPKLTS, Solihin G.P. atau akrab dipanggil Mang Ihin, menggalang dana dari para undangan. Dalam waktu kurang lebih seperempat jam, terkumpul sumbangan Rp 48.150.000,00 berupa uang tunai, 7,3 ton beras, dan 1 ton pupuk organik. Di antara para penyumbang adalah Ketua DPKLTS, Iyan S. Koesoemadinata, Wakil Bupati Bandung, Eliyadi Agraraharja, mantan Kadisbudpar Jawa Barat, Memed Hamdan, dan Mang Ihin sendiri.
Mang Ihin juga melelang sebuah lukisan karya Tisna Sanjaya tentang Punclut yang akhirnya jatuh ke tangan T. Boestomi, mantan hakim agung, senilai Rp 10 juta. Hasil lelang disumbangkan kepada para korban bencana alam, seperti warga korban longsor di Mandalawangi, Kabupaten Garut.
DPKLTS merupakan lembaga kedewanan yang memiliki landasan kerja “No Forest, No Water, No Future”, dibentuk melalui deklarasi “Tuntutan Manglayang” pada 10 September 2001. Pembentukan DPKLTS kala itu dilakukan di Padepokan Tadjimalela di kaki Gunung Manglayang oleh sejumlah tokoh masyarakat, perwakilan LSM, akademisi, masyarakat adat, seniman, budayawan, organisasi mahasiswa, dan masyarakat umum yang peduli terhadap kelestarian hutan dan lingkungan di Jawa Barat.
Selama empat tahun ini, DPKLTS telah melakukan sejumlah kegiatan advokasi dan aktivitas pengawasan kerusakan lingkungan lainnya, diantaranya menolak penyodetan Citanduy, penolakan pembangunan jalan Dago-Lembang, menjadi fasilitator gugatan class action korban longsor Gunung Mandalawangi dan TPA Leuwigajah, menolak pembangunan Waduk Jatigede, serta melakukan legal standing Punclut terhadap Walikota Bandung. - ully

dikutip dari http://www.bigs.or.id/bujet/6-3/k8.htm

Label: ,

Kota Yogya Butuh 48.216 Pohon



Yogya, Bernas
Kota Yogyakarta membutuhkan sedikitnya 48.216 pohon untuk menyerap dan menjerap cemaran CO2, SOx, CxHy, kebisingan dan partikulat debu, yang saat ini telah mencapai derajat sangat mengkhawatirkan. Ke 48.216 pohon ini merupakan kebutuhan untuk menghijaukan ruang terbuka di kota Yogyakarta menjadi hutan kota.
Pakar kehutanan UGM Dr Ir Chafid Fandeli mengatakan hal itu dalam seminar Perhutanan Kota di Ruang Seminar Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM, Selasa (29/4). Seminar itu diprakarsai oleh Mapala Silvagama dan PSLH UGM.
"Potensi ruang terbuka di kota Yogyakarta yang dapat digunakan untuk hutan kota sekitar 246,68 hektar. Ini adalah potensi yang berasal dari lahan sawah, tegakan dan kebun, pekarangan, kolam, serta sempadan di ketiga sungai di Yogyakarta. Jika 246,68 hektar x 196 pohon, dengan jarak tanam 7 x 7 meter maka kebutuhan pohon untuk hutan kota mencapai 48.216 pohon," katanya.
Untuk kebutuhan hutan kota, vegetasi berupa pohon lebih diutamakan ketimbang tumbuhan semak dan perdu. Sebab, baik dari aspek sosial, ekonomi dan efektifitas, pohon lebih besar menjerap debu dan mengurangi cemaran. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan, ruang terbuka hijau di kota relatif lebih rendah kondisi parameter partikulat, kebisingan dan CO2 serta HC dibanding di beberapa kawasan lain di kota.
Namun, pemilihan jenis pohon untuk mewujudkan hutan kota di Yogyakarta harus tepat. Hal ini karena kota yang menyandang berbagai atribut ini memiliki berbagai cluster ruang.
"Pohon untuk hutan kota yang dibangun pada cluster heritage, yang biasanya memiliki pekarangan cukup luas, baik di depan, di samping maupun di belakang, sebaiknya dipilih jenis pohon asli Jawa atau yang memiliki filosofi tertentu," paparnya.
Untuk hutan kota yang dibangun pada cluster kawasan pemukiman elit sebaiknya dipilih jenis pohon yang cocok dengan brand image kalangan berstatus sosial tinggi. Sebaliknya pada kawasan pemukiman padat, yang biasanya sangat rapat dan lahan terbukanya sangat sempit, hutan kota dapat diwujudkan pada ruang terbuka milik publik. Pohon yang dipilih adalah jenis yang memiliki prospek produksi.
Pada cluster kawasan pendidikan, pohon yang dipilih adalah jenis yang dapat memberi kesejukan dan kenyamanan. Tujuannya, agar dapat menjadi lingkungan belajar yang kondusif. Jenis pohon serupa yang memiliki keunggulan dari aspek estetis juga dapat ditanam untuk hutan kota yang berada pada cluster kawasan taman dan tempat rekreasi.
Kawasan sempadan sungai adalah kawasan yang paling luas untuk hutan kota. Jenis tanaman produksi dapat dibangun untuk kebutuhan hutan kota di sempadan sungai. Sedangkan pada kawasan perdagangan, yang biasanya memiliki lahan terbuka paling sempit, jenis pohon penyerap dan penjerap polutan adalah pilihan yang tepat untuk ditanam di areal parkir. Sebab, daerah ini memiliki kepadatan kendaraan paling tinggi dan cemaran udara paling besar.
"Untuk kawasan fasilitas umum, seperti pemakaman, lapangan olah raga sebenarnya berpotensi untuk hutan kota. Karena itu, jenis pohon yang ditaman sebaiknya berupa tanaman campuran yang mampu mengkonservasi flora dan fauna," paparnya.

Bergeser

Pengertian hutan kota telah mengalami perkembangan, seiring kenyataan bahwa kondisi lingkungan khususnya ruang terbuka di kota cenderung semakin sempit. Hutan kota yang semula mensyaratkan luasan tertentu, yaitu 0,25 hektar dan kompak dalam blok telah bergeser. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 disebutkan, bahwa hutan kota berada pada luasan tertentu dan kompak serta dibangun di lahan negara.
"Kenyataannya, hutan kota itu sangat dibutuhkan tidak hanya pada lahan milik negara, tetapi juga lahan masyarakat. Karena itu, hutan kota seharusnya "dimaknai" sebagai kumpulan pohon di suatu lahan dalam kota yang mampu menciptakan iklim mikro tertentu," katanya.
Artinya, seluruh ruang terbuka di kota Yogyakarta dapat dibangun hutan kota. Bahwa hutan kota dapat dibangun di seluruh ruang terbuka di pekarangan penduduk, kantor, rumah sakit, kampus, fasilitas publik, lahan publik dan kawasan perdagangan. (idt) 

dikutip : http://www.indomedia.com/bernas/052003/01/UTAMA/01uta3.htm

Label: ,

Artikel:HUTAN KOTA

Judul: HUTAN KOTA
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian IPA / GENERAL SCIENCE.
Nama & E-mail (Penulis): ZOER'AINI DJAMAL IRWAN
Saya Dosen di Universitas Trisakti
Topik: FUNGSI TAMAN HUTAN KOTA
Tanggal: 19 jULI 2007

FUNGSI TAMAN HUTAN KOTA
Oleh: Prof. DR. Ir. Zoer'aini Djamal Irwan, M.S

Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan sebanyak-banyaknya di halaman rumah atau dilingkungan sekitar rumah maupun dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon, semak, perdu, rumput atau penutup tanah lainnya, di setiap jengkal tanah yang kosong yang ada dalam kota dan sekitarnya, sering disebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH). RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika (keindahan). Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi menjadi:

1. Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura.

2. Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi sosial

3. Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan.

Hutan Kota dapat memberikan kota yang nyaman sehat dan indah (estetis). Kita sangat membutuhkan hutan kota, untuk perlindungan dari berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak fungsi (kegunaan dan manfaat). Hal ini tidak terlepas dari peranan tumbuh-tumbuhan di alam. Tumbuh-tumbuhan sebagai produsen pertama dalam ekosistem, mempunyai berbagai macam kegiatan metabulisme untuk ia hidup, tumbuh dan berkembang. Kegiatan metabulisme tumbuh-tumbuhan dimaksud telah memberikan keuntungan dalam kehidupan kita. Tidak ada satu makhlukpun yang dapat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan.

Untuk menghadapi kemajuan, kita perlu melakukan perubahan dan untuk itu kita perlu melakukan pembangunan. Dalam pembangunan itu kita akan tahu tentang sejauh mana kerugian kita, jika kita menebang pohon atau membabat tumbuh-tumbuhan tanpa pertimbangan dengan alasan nanti toh tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh kembali. Mudah-mudahan pelaku pembangunan dapat menyadari, bahwa tumbuh-tumbuhan itu adalah makhluk hidup dan butuh waktu untuk tumbuh dan berkembang.

BENTUK DAN STRUKTUR HUTAN KOTA.

Hutan kota meupakan suatu ekosistem dan tidak sama dengan pengertian hutan selama ini. Hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis.

Banyak kendala dalam membangun hutan kota. Kendala tersebut antara lain berkisar kepada persediaan lahan untuk hutan kota, lahan semakin hari semakin sedikit untuk hutan kota dan harga lahan di kota semakin hari semakin sangat mahal. Disamping itu pula terbentur kepada peresepsi dari para perancang dan pelaksana pembangunan, maupun dari lapisan masyarakat lainnya terhadap hutan kota belum sama dan belum terbangun. Melihat fungsinya maka kita harus membangun dan mengembangkan hutan kota. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dengan membangun dan mengembangkan bentuk hutan kota serta membangun dan mengembangkan struktur hutan kota, maka kendala lahan dapat di modifikasi sehingga kita akan tetap dapat membangun dan mengembangkan hutan kota. Disamping itu secara bertahap kita selalu berusaha membangun dan mengembangkan persepsi tentang hutan kota.

Bentuk tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia untuk hutan kota. Bentuk hutan kota dapat dibagi menjadi: a. Berbentuk bergerombol atau menumpuk adalah hutan kota dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah tumbuh-tumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan. b. Berbentuk menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. c. Berbentuk jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lainnya. Struktur hutan kota adalah komposisi dari tumbuh-tumbuhan, jumlah dan keanekaragaman dari komunitas tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan kota, dapat dibagi menjadi: a. berstrata dua yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya. b. berstrata banyak yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan, dengan strata dan komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.

FUNGSI HUTAN KOTA

Fungsi hutan kota sangat tergantung kepada bentuk dan struktur hutan kota serta tujuan perancangannya. Secara garis besar fungsi hutan kota yang sangat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi:

1. Fungsi lansekap. Fungsi lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial.

a.Fungsi fisik, yaitu berfungsi antara lain untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai. b. Fungsi sosial. Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buah-buahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup.

2. Fungsi Pelestarian Lingkungan (ekologi). Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan fungsi lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi lingkungan ini antara lain adalah: a. Menyegarkan udara atau sebagai "paru-paru kota". Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil dari dalam tanah melalui akar tanaman.

sinarmatahari 6 CO2 + 6 H2O ----------------> C6H12O6 + 6 O2 khlorofil enzim

b. Menurunkan Suhu Kota dan meningkatkan kelembaban. Suhu disekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya untuk daerah tropis.

c. Sebagai Ruang Hidup Satwa. Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, sebagai burung, kupu-kupu, serangga. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Dengan kondisi tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperanan dalam rekreasi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Malahan sekarang hampir di setiap rumah orang memelihara burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Kebiasaan burung-burung beranekaragam, ada burung yang mempunyai kebiasaan berada mulai dari tajuk sampai kebawah tajuk. Ini menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil penelitian saya (1994) menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak. Kehadiran burung pada hutan kota yang berstara banyak selain karena jumlah tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, biji aroma, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang. d. Penyanggah dan Perlindungan Permu-kaan Tanah dari Erosi, sebagai penyanggah dan melindungi permukaan tanah dari air hujan dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. e. Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara dan Limbah, sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah, serta menyaring debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi,silika, jelaga dan unsur kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan dapat mengakumulasi berbagai jenis polutan (pencemar). Seperti pohon johar, asam landi, angsana dan mahoni dapat mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran oleh kendaraan bermotor, pada daun dan kulit batang. e. Peredaman Kebisingan. Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut "polusi tak terlihat" yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia terhadap suara. f. Tempat Pelesterian Plasma nutfah dan bioindikator, yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan seperti. Karena tumbuhan tertentu akan memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dan diperlukan untuk kehidupan. g. Menyuburkan Tanah. Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisma dan akhirnya terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan itu kembali.

3. Fungsi Estetika. Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma. Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa penilaian hutan kota yang berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan kota berstrata dua.

PENUTUP

Hutan kota dapat memberikan kenyamanan dan kenikmatan kepada. Apalagi bila kita dapat mengembangkan dan membangun hutan kota yang berstruktur, dengan keanekaragam jenis tumbuh-tumbuhan dan jumlah yang banyak serta ditata dengan baik. Diharapkan hutan kota dapat memenuhi tingkat kenyamanan yang dikehendaki, karena hutan kota dapat memodifikasi iklim mikro. Hutan kota yang berstrata banyak memberikan lingkungan sekitarnya relatif lebih nyaman daripada yang berstrata dua, dan di dalam hutan akan kita rasakan lingkungannya lebih nyaman dibandingkan dengan di luar hutan kota. Jangan lupa bahwa yang paling penting kita perlu menanam jenis-jenis khas daerah sehingga hutan kotanya akan mempunyai ciri spesifik, mungkin tiap daerah sudah menetukan maskot jenis tanaman. Jangan lupa peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan sangat dominan, oleh karena itu dalam semua kesempatan perempuan perlu diikutkan.

Saya ZOER'AINI DJAMAL IRWAN setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).

dikutip dari http://re-searchengines.com/0707zoeraini.html

Label:

Sehatkan Udara Bandung dengan Tanaman Penyerap Polutan


BEREKREASI di alam bebas sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan. Apalagi bagi mereka yang dalam kesehariannya dipenuhi ketegangan dan kebisingan. Tentunya, hutan kota bisa menjadi alternatif untuk melepas ketegangan dan stres sehingga memperoleh kesegaran, baik jasmani maupun rohani.

Mahoni (Swietenia macrophylla)FOTO: MUHTAR IT/”PR”

Selain untuk melepaskan kejenuhan, hutan kota pun dapat berfungsi untuk menghambat penurunan kualitas lingkungan di wilayah perkotaan, terutama yang diakibatkan oleh berbagai pencemaran yang dapat merusak lingkungan dan menganggu tatanan kehidupan masyarakat perkotaan. Adapun pemahaman tentang peranan hutan kota tidaklah terlepas dari upaya memahami keunggulan vegetasi (adanya tumbuh-tumbuhan) dalam rekayasa lingkungan, sekaligus mengenali pula sifat-sifat tumbuhan beserta bagian-bagiannya dan bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan.

Hutan kota merupakan pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan fungsi lainnya bagi kepentingan masyarakat perkotaan. Untuk itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi dapat pula berarti bahwa hutan kota dapat tersusun dari komponen hutan, dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota, seperti taman kota, jalur hijau, serta kebun, dan pekarangan.

Jadi, hutan kota merupakan ruang terbuka hijau yang ditumbuhi oleh pohon-pohonan yang terdiri dari hutan yang ada di dalam atau dekat kota, jalur hijau, pinggir jalan dan jalur pemisah jalan yang ditumbuhi pohon, pinggir jalan raya dan alat transportasi darat lainnya, serta tempat-tempat rekreasi seperti taman kota dan lapangan golf.

Sedangkan lingkungan sendiri merupakan ruang yang ditempati makhluk hidup bersama benda hidup dan tak hidup. Erat kaitannya dengan lingkungan ini adalah ekosistem, di mana hutan kota merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem perkotaan dapat mengalami gangguan seiring dengan gangguan terhadap lingkungan hidup.

Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan pesatnya berbagai pembangunan di perkotaan, telah banyak mengakibatkan kualitas lingkungan hidup di kota-kota besar cenderung mengalami penurunan drastis. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya jumlah kepadatan penduduk, semakin berkurangnya kawasan bervegetasi yang menyebabkan meningkatnya run-off, luas resapan air di kota-kota besar berkurang hingga debit air yang masuk ke sungai meningkat, sedangkan persediaan air tanah berkurang, serta menambah kritisnya cadangan air tanah.

Kemudian, semakin berkembangnya daerah industri dan meningkatnya penggunaan alat transportasi darat, seperti motor dan mobil, yang memungkinkan dapat menimbulkan berbagai polusi atau pencemaran. Hutan kota merupakan salah satu bentuk dari kawasan bervegetasi dalam ekosistem perkotaan.

Banyak sekali manfaat hutan kota bagi lingkungan dan masyarakat perkotaan. Pertama, hutan kota dapat berfungsi meredam suara yang berasal dari kendaraan dan kegiatan proses industrialisasi. Kedua, berperan sebagai penyejuk iklim, terutama iklim mikro (suhu, kelembaban, pengendalian perbandingan antara gas CO2 dan O2, penangkal angin dan penyaring cahaya matahari). Ketiga, sebagai pembersih udara dari partikel dan debu serta bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan.

Penyerap kadar polutan

Apa yang bisa diperbuat mengahadapi minimnya ruang terbuka hijau? Tentu saja pemerintah daerah harus berupaya mengembalikan fungsi taman yang telah berubah. Menurut kabar, Pemkot Bandung, misalnya, dalam tahun-tahun belakangan telah berhasil mengembalikan fungsi setidaknya 14 lokasi taman setiap tahunnya. Kalau saja upaya itu dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten, maka perlu waktu sekira 19 tahun agar 270 taman, yang telah berubah fungsi, kembali menjadi taman.

Keberhasilan berdirinya hutan kota di tengah Kota New York, yang dinamai Central Park, mungkin bisa dijadikan contoh bahwa mengembalikan fungsi taman kota. Pendirian kawasan terbuka hijau ini berkat ngototnya seorang arsitek lanskap setempat. Ia berhasil meluluhkan hati semacam Panitia Kota, yang menganggap taman tidaklah menguntungkan secara ekonomis, melalui suatu kampanye besar-besaran. Lahan yang sudah telanjur menjadi peruntukan lain pun berhasil dihutankan kembali meski harus dibeli dengan nilai mahal.

Upaya pemulihan fungsi ruang terbuka hijau tadi akan lebih bermakna bila program di daerah perkotaan membuat sekira 70 taman interaksi sosial di lingkungan permukiman padat di wilayah perkotaan itu sendiri. Walaupun mungkin tidak dipadati pepohonan, lahan taman itu tidak diaspal. Maka, bila hujan, sebagian air masih bisa meresap ke tanah taman itu untuk disimpan sebagai cadangan air.

Akan lebih baik lagi bila ruang terbuka hijau ditanami pepohonan yang mampu mengurangi polusi udara secara signifikan. Dari penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan, Departemen Pekerjaan Umum (kini Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) di laboratoriumnya di Bandung, dan di berbagai tempat di Bogor, Bandung, dan Jakarta diketahui, ada lima tanaman pohon dan lima jenis tanaman perdu yang bisa mereduksi polusi udara.

Menurut penelitian di laboratorium, kelima jenis pohon itu bisa mengurangi polusi udara sekira 47 – 69 persen. Mereka adalah pohon felicium (Filicium decipiens), mahoni (Swietenia mahagoni), kenari (Canarium commune), salam (Syzygium polyanthum), dan anting-anting (Elaeocarpus grandiforus). Sementara itu, jenis tanaman perdu yang baik untuk mengurangi polusi udara adalah puring (Codiaeum variegiatum), werkisiana, nusa indah (Mussaenda sp), soka (Ixora javanica), dan kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis).

Upaya yang sama bisa pula dilakukan oleh warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan penanaman pohon atau tanaman perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk itu, apabila pemerintah daerah dan masyarakatnya sama-sama peduli dengan lingkungannya, kota yang sejuk, bersih, dan sehat pasti akan terwujud. Berbagai sumber pencemaran, khususnya akibat polusi udara akan bisa ditekan seefektif mungkin.***

Label:

Hutan Kota, Potensi Wisata yang Terlupakan




SH/Tinnes Sanger
Danau buatan di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat (atas).


Jakarta – Hutan kota seringkali terlupakan keberadaannya. Hadir di tengah impitan pembangunan fisik kota yang kian pesat. Salah satu ruang terbuka hijau itu tampak hanya sekadar pajangan, pelengkap dalam sebuah kebutuhan penataan ruang. Warga kota pun banyak yang memandang sebelah mata. Padahal, ada beragam potensi wisata yang bisa digali.

Seiring meningkatnya taraf hidup, kemampuan dan kebutuhan manusia, maka sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an ruang terbuka hijau banyak dialih-fungsikan menjadi pemukiman, bandar udara, industri, jalan raya, bangunan perbelanjaan dan lain-lain. Dengan semakin meningkatnya kemampuan dan kesejahteraan masyarakat, pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat. Namun peningkatan itu membawa dampak negatif, salah satunya penyusutan luas lahan bervegetasi.
Susutnya lahan bervegetasi mendorong penghuni kota berbondong-bondong pergi ke luar kota, mencari daerah hijau yang masih tersisa. Di tengah persaingan hidup yang kian meninggi, kebutuhan rekreasi menjadi mutlak adanya.
Akhirnya sebuah pemandangan yang jamak bisa kita saksikan. Tiap akhir pekan atau masa libur, warga kota papan atas ramai-ramai ”mengungsi” ke daerah hijau nan sejuk. Umumnya, ruang hijau itu berada di luar kota. Kalau buat orang Jakarta kawasan paling dekat adalah kawasan Puncak dan sekitarnya.
Bagi warga yang tak berduit keluar kota adalah sebuah impian. Itu sebabnya ruang terbuka pengundang keramaian di dalam kota, seperti kebun binatang, taman rekreasi, kawasan pinggir pantai dan lainnya jadi sasaran utama. Pokoknya, dengan bujet yang pas-pasan, mereka berharap kebutuhan relaksasi tetap bisa terpenuhi. Murah meriah namun tetap dapat unsur pelesirannya.
Pada waktu tertentu, liburan sekolah atau hari raya, ruang terbuka yang hijau ini selalu dipadati pengunjung. Menurut Ning Purnomohadi, seorang praktisi lingkungan, kejadian seperti itu sebetulnya bisa dihindari. Kalau warga jeli, ada ruang terbuka hijau di dalam kota lainnya yang bisa dimanfaatkan sebagai ajang pelesiran. Sebagai contoh, Ning lantas menunjuk hutan kota.
Dari 16 lokasi hutan kota di Jakarta, kami memilih beberapa sebagai lokasi contoh. Di antaranya, hutan kota Srengseng. Hutan kota ini terletak di wilayah kota Jakarta Barat, Kecamatan Kembangan, Kelurahan Srengseng. Kawasan ini bertipe hutan kota konservasi resapan air, seluas 15 ha.
Hutan kota Srengseng punya bentang alam yang cukup beragam, dari lahan datar, bergelombang sampai danau serta pulau yang ada di tengah kawasan. ”Luas danau itu kira-kira tujuh ribu meter persegi,” sebut Iwa Kustiwa, penanggung jawab hutan kota Srengseng.
Setiap hari ada saja yang mencoba peruntungan di danau ini. Lebih dari setengah hari, mereka betah duduk di pinggir sambil berharap ada umpan yang disambar ikan penghuni danau. Kata Iwa, ikan di danau itu berasal dari pelepasan ketika kawasan ini pertama kali dibuka, sekitar 1995.
Selain aktivitas memancing, jalan-jalan keliling hutan juga menarik. Sebab ada 68 jenis pohon yang ditanam. Sebut saja, Rambutan Irian, Kayu Manis, Tanjung, Pilang, Buah Nona, Buni, Saga, Bambu Kuning, Bintaro, Mahoni, Asam Ranji, Jati Lampung, Dadap Merah dan masih banyak lagi.
Tak jarang, di balik tajuk tanaman pelindung itu terdengar kicauan burung. Kalau rajin mengintip dengan teropong sosok cerucuk, burung gereja, kutilang, tekukur dan cabe-cabean terlihat jelas. Seperti kata Ria Saryanthi dari BirdLife Indonesia, birdwatching di hutan kota tak kalah menarik dengan di hutan luar kota.
Di sebelah utara danau, tumbuh warung-warung makanan dan minuman. Ada delapan warung yang konstruksinya terbuat dari bambu. Ketika kami melintas, ada beberapa pasang muda-mudi yang sedang menikmati kopi dan rokok.
Kalau mau santai bareng keluarga juga sangat memungkinkan. Gelar tikar sambil membuka bungkusan timbel tidak diharamkan di sini. Tapi yang harus diingat, sampah-sampahnya harus dikumpulkan. Berhubung tempat sampah di hutan ini masih minim, lebih baik bawa pulang saja sampah itu. Terutama sampah non-organik yang tidak mudah hancur.
Kalau melihat kelengkapan hutan kota Srengseng sebetulnya sudah cukup untuk mengundang wisatawan lokal untuk mencicipi pelesiran alami. Di beberapa bagian kondisinya cukup memprihatinkan, contohnya lampu penerang yang sudah lenyap entah ke mana. Ruang informasi sudah ada tapi belum berfungsi maksimal.
Walau terbukti ada beragam potensi wisata, kawasan ini hanya sanggup menarik segelintir orang. Seolah-olah mereka terlupa dengan keberadaan hutan ini. Angka kunjungan paling ”top” dicapai pada Sabtu-Minggu, sekitar 80 orang. Padahal, harga tiket masuknya sangat murah, cuma gopek alias lima ratus perak per orang. Buat mobil bayar Rp 2.500, motor seribu perak.
Kelupaan masyarakat pada hutan kota boleh jadi karena minimnya informasi dan promosi. ”Gimana mau datang, kalau nggak pernah ada promosi tentang hutan kota Srengseng. Jadi wajarlah, kalau nggak semua orang Jakarta Barat tahu ada hutan ini,” alasan Iwa dengan semangat. Selain brosur wisata, jalan promosi itu bisa dilakukan dengan pemberian papan penunjuk arah.
Usul itu masuk akal. Kami sendiri sempat mengalami kesulitan mencari saat mencari hutan kota Kemayoran, di wilayah Jakarta Utara. Tiap orang yang dijumpai di seputar bekas landas pacu bandara itu hanya mengangkat bahu atau mengernyitkan dahi ketika ditanyai lokasi hutan ini.(SH/bayu dwi mardana).

dikutip darii http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/032/wis01.html

Label:

PP RI No.63 Thn 2002 Tentang Hutan Kota


Senin, 29 Maret 2004 | 10:04 WIB

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 63 TAHUN 2002

TENTANG

HUTAN KOTA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Kota;


Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469);

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);

7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3721);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4206);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4207);



MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HUTAN KOTA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

2. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

3. Wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat permukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota.

4. Kota adalah wilayah perkotaan yang berstatus daerah otonom.

5. Tanah negara adalah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

6. Tanah hak adalah tanah yang dibebani hak atas tanah.

7. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.

8. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

9. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang,

10. Termasuk masyarakat hukum adat atau Badan Hukum.

11. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

12. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.

13. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah Provinsi untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

14. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.



Bagian Kedua

Tujuan dan Fungsi

Pasal 2



Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.


Pasal 3

Fungsi hutan kota adalah untuk :

a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;

b. meresapkan air;

c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan

d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.



BAB II

PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 4


(1) Untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, di setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu dalam rangka penyelenggaraan hutan kota.

(2) Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. penunjukan;

b. pembangunan;

c. penetapan; dan

d. pengelolaan.



Bagian Kedua

Penunjukan

Pasal 5


(1) Penunjukan hutan kota terdiri dari :

a. penunjukan lokasi hutan kota; dan

b. penunjukan luas hutan kota.

(2) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan.

(3) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 6

Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan.

Pasal 7

(1) Lokasi yang ditunjuk sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dapat berada pada tanah negara atau tanah hak.

(2) Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.


Pasal 8

(1) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :



a. luas wilayah;

b. jumlah penduduk;

c. tingkat pencemaran; dan

d. kondisi fisik kota.


(2) Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar.

(3) Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Pasal 9

(1) Pedoman, kriteria dan standar penunjukan hutan kota diatur oleh Menteri.

(2) Tata cara penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 diatur dengan Peraturan Daerah.


Bagian Ketiga

Pembangunan

Paragraf 1

Umum

Pasal 10


(1) Pembangunan hutan kota dilakukan berdasarkan penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(2) Pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

(3) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 11

Pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi kegiatan :


a. perencanaan; dan

b. pelaksanaan.



Paragraf 2

Perencanaan

Pasal 12


(1) Rencana pembangunan hutan kota sebagai hasil dari perenca-naan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan.

(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(3) Rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya setempat.

Pasal 13

Rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memuat rencana teknis tentang tipe dan bentuk hutan kota.

Pasal 14

(1) Penentuan tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(2) Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :


a. tipe kawasan permukiman;

b. tipe kawasan industri;

c. tipe rekreasi;

d. tipe pelestarian plasma nutfah;

e. tipe perlindungan; dan

f. tipe pengamanan.


Pasal 15

(1) Penentuan bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disesuaikan dengan karakteristik lahan.

(2) Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :


a. jalur;

b. mengelompok; dan

c. menyebar.



Paragraf 3

Pelaksanaan

Pasal 16


(1) Pelaksanaan pembangunan hutan kota didasarkan pada rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

(2) Pelaksanaan pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan kegiatan:


a. penataan areal;

b. penanaman;

c. pemeliharaan; dan

d. pembangunan sipil teknis.



Pasal 17

(1) Pedoman, kriteria dan standar pembangunan hutan kota diatur oleh Menteri.

(2) Tata cara pembangunan hutan kota diatur dengan Peraturan Daerah.


Bagian Keempat

Penetapan

Pasal 18

Berdasarkan hasil pelaksanaan pembangunan hutan kota sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan hutan kota dengan Peraturan Daerah.



Pasal 19


(1) Tanah hak yang karena keberadaannya, dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota oleh pemegang hak tanpa pelepasan hak atas tanah.

(2) Pemegang hak memperoleh insentif atas tanah hak yang ditetap-kan sebagai hutan kota.

(3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.

(4) Tanah hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai hutan kota untuk jangka waktu paling sedikit 15 (lima belas) tahun.

(5) Penetapan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan tanpa melalui proses penunjukan dan pembangunan.

(6) Tanah hak yang dimintakan penetapannya sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. terletak di wilayah perkotaan dari suatu Kabupaten/Kota atau provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

b. merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan;

c. mempunyai luas yang paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar dan mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika, dan berfungsi sebagai resapan air.

(7) Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

(8) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(9) Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) dilakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak.


Pasal 20


(1) Perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Per-kotaan serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perubahan peruntukan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada hasil penelitian terpadu.




Bagian Kelima

Pengelolaan

Paragraf 1

Umum

Pasal 21


(1) Pengelolaan hutan kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan kota agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

(2) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tahapan kegiatan :


a. penyusunan rencana pengelolaan;

b. pemeliharaan;

c. perlindungan dan pengamanan;

d. pemanfaatan; dan

e. pemantauan dan evaluasi.


Pasal 22

(1) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah negara dapat dilakukan oleh :

a. Pemerintah Daerah; dan atau

b. masyarakat.

(2) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak.

(3) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat bukan pemegang hak atau Pemerintah Daerah melalui perjanjian dengan pemegang hak.


Paragraf 2

Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pasal 23


Penyusunan rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi :


a. penetapan tujuan pengelolaan;

b. penetapan program jangka pendek dan jangka panjang;

c. penetapan kegiatan dan kelembagaan; dan

d. penetapan sistem monitoring dan evaluasi.



Paragraf 3

Pemeliharaan

Pasal 24


Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dilaksanakan dalam rangka menjaga dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.



Paragraf 4

Perlindungan dan Pengamanan

Pasal 25


(1) Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c bertujuan untuk menjaga keberadaan dan kondisi hutan kota agar tetap berfungsi secara optimal.

(2) Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui upaya :



a. pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan;

b. pencegahan dan penanggulangan pencurian fauna dan flora;

c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran; dan

d. pengendalian dan penanggulangan hama dan penyakit.



Pasal 26

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota.

(2) Setiap orang dilarang :


a. membakar hutan kota;

b. merambah hutan kota;

c. menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang;

d. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakar-an atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan

e. mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.



Paragraf 5

Pemanfaatan

Pasal 27


(1) Hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan :

a. pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga;

b. penelitian dan pengembangan;

c. pendidikan;

d. pelestarian plasma nutfah; dan atau

e. budidaya hasil hutan bukan kayu.



(2) Pemanfaatan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.



Paragraf 6

Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 28


(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pengelola melalui penilaian kegiatan pengelolaan secara menyeluruh.

(2) Hasil penilaian kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota.

(3) Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara periodik.



Pasal 29

(1) Kriteria dan standar pengelolaan hutan kota diatur dengan Keputusan Menteri.

(2) Pedoman pengelolaan hutan kota diatur dengan Peraturan Daerah.


BAB III

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 30


(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Menteri dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pem-berian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi.

(4) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pengelolaan hutan kota yang dilakukan oleh masyarakat.



Pasal 31

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Menteri dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Gubernur atau Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota di wilayah kerjanya.

(4) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bersama-sama masyarakat secara terkoordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait.

Pasal 32

Pelaksanaan lebih lanjut tentang pengawasan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB IV

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 33


(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sejak penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan.

(3) Ketentuan tentang tata cara peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.



Pasal 34

(1) Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui :

a. pendidikan dan pelatihan;

b. penyuluhan;

c. bantuan teknis dan insentif.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Daerah.



Pasal 35

(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk :

a. penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota;

b. penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota;

c. pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota;

d. pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota;

e. kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;

f. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota;

g. pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

h. bantuan pelaksanaan pembangunan;

i. bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota;

j. bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan;

k. menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.

(2) Tata cara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.


BAB V

PEMBIAYAAN

Pasal 36


Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.


BAB VI

SANKSI

Pasal 37

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26 dikenakan sanksi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.



BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38


Hutan kota yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku dan segera menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39


Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hutan kota yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 12 November 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 November 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 119



Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan

Perundang-undangan,






Lambock V. Nahattands

Penjelasan >>>

PENJELASAN

ATAS


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2002

TENTANG

HUTAN KOTA



UMUM


Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan, terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya.

Keadaan lingkungan perkotaan menjadi berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Kondisi demikian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan, yang berupa meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (seperti meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah.

Keadaan tersebut menyebabkan hubungan masyarakat perkotaan dengan lingkungan-nya menjadi tidak harmonis.

Menyadari ketidakharmonisan tersebut dan mempertimbangkan dampak negatif yang akan terjadi, maka harus ada usaha-usaha untuk menata dan memperbaiki lingkungan melalui pembangunan hutan kota.

Untuk memberikan kepastian hukum tentang keberadaan hutan kota, diperlukan pengaturan tentang hutan kota dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah tentang Hutan Kota dimaksudkan sebagai pedoman dan arahan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan hutan kota.



Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Tujuan dari penyelenggaraan hutan kota tersebut dimaksudkan untuk :

a. menekan/mengurangi peningkatan suhu udara di perkotaan;

b. menekan/mengurangi pencemaran udara (kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang dan debu);

c. mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah; dan

d. mencegah terjadinya banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air.

Pasal 3

Sesuai dengan tujuan penyelenggaraan hutan kota, maka penyelenggaraan hutan kota lebih ditekankan kepada fungsinya yaitu, antara lain, sebagai penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, penyerap polutan (logam berat, debu, belerang), peredam kebisingan, pelestarian plasma nutfah, mendukung keanekaragaman flora, fauna dan keseimbangan ekosistem, penahan angin dan peningkatan keindahan. Dengan demikian, maka hutan kota dikategorikan sudah terbangun apabila secara fisik sudah bervegetasi sesuai dengan yang direncanakan.

Iklim mikro adalah kondisi lapisan atmosfir yang dekat dengan permukaan tanah atau sekitar tanaman seperti suhu, kelembaban, tekanan udara, keteduhan dan dinamika energi radiasi surya.

Nilai estetika adalah suatu keadaan dimana setiap orang yang oleh karena kondisi atau sesuatu hal dapat merasakan kenyamanan atau menikmati keindahan, sehingga dapat menghilangkan rasa kejenuhan.

Pasal 4

Ayat (1)

Pengertian wilayah perkotaan dimaksud sama dengan pengertian kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kawasan tertentu di sini adalah suatu lahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan bukan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Wilayah Perkotaan secara administratif dapat berada dalam Wilayah Administrasi Kota maupun dalam Wilayah Administrasi Kabupaten.

Ayat (3)

Oleh karena di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak ada kabupaten atau kota yang bersifat otonom, maka penyelenggaraan hutan kota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur.

Pasal 6

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.

Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan.

Pasal 7

Ayat (1)

Tanah hak atau hak atas lahan dapat berupa hak milik, hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan, hak pakai, dan hak-hak lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)

Kompensasi adalah pemberian ganti rugi atau tanah pengganti kepada pemegang hak atas tanah melalui musyawarah.

Pasal 8

Ayat (1)

Penentuan luas hutan kota dalam suatu wilayah perkotaan harus proporsional didasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat polusi dan kondisi fisik kota.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Kondisi fisik kota adalah keadaan bentang alam kota berupa bangunan alam di atas tanah perkotaan termasuk tumbuhan, sungai, danau, rawa, bukit, hutan dan bangunan buatan sebagai sarana prasarana seperti jalan, gedung-gedung, permukiman, lapangan udara, lapangan terbuka hijau, taman dan sejenisnya termasuk lingkungannya.

Ayat (2)

Luasan 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar merupakan hamparan terkecil hutan kota dengan pertimbangan teknis bahwa pohon-pohon yang tumbuh dapat menciptakan iklim mikro.

Pengertian dari kompak adalah hamparan yang menyatu.

Ayat (3)

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Kondisi setempat yang dimaksud antara lain meliputi jumlah penduduk atau kondisi fisik kota.

Taman hutan raya, kebun raya, kebun binatang, hutan lindung, arboretum, bumi perkemahan yang berada di wilayah kota atau kawasan perkotaan dapat diperhitungkan sebagai luasan kawasan yang berfungsi sebagai hutan kota.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Tatacara penunjukan meliputi inventarisasi, analisis penelitian, kompensasi/ gantirugi dan koordinasi.

Pasal 10

Ayat (1)

Pembangunan hutan kota dilaksanakan dalam rangka membentuk fisik hutan agar berfungsi sebagai hutan kota.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Aspek teknis yang dimaksud adalah dengan memperhatikan kesiapan lahan, jenis tanaman, bibit, teknologi.

Lahan yang dimaksud merupakan ruang bebas dari Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).

Aspek ekologis yang dimaksud adalah memperhatikan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan alam kota.

Aspek ekonomis yang dimaksud berkaitan dengan biaya dan manfaat yang dihasilkan.

Aspek sosial dan budaya setempat yang dimaksud adalah memperhatikan nilai dan norma sosial serta budaya setempat.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Ayat (2)

a. Tipe kawasan permukiman adalah hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin, dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan.

Karakteristik pepohonannya :

1. pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur.

2. pohon-pohon penghasil bunga/buah/biji yang bernilai ekonomis.

b. Tipe kawasan industri adalah hutan kota yang dibangun di kawasan industri yang berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan kebisingan, yang ditimbulkan dari kegiatan industri.

Karakteristik pepohonannya:

pohon-pohon berdaun lebar dan rindang, berbulu dan yang mempunyai permukaan kasar/berlekuk, bertajuk tebal, tanaman yang menghasilkan bau harum.

c. Tipe rekreasi adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan rekreasi dan keindahan, dengan jenis pepohonan yang indah dan unik.

Karakteristik pepohonannya:

pohon-pohon yang indah dan atau penghasil bunga/buah (vector) yang digemari oleh satwa, seperti burung, kupu-kupu dan sebagainya.

d. Tipe pelestarian plasma nutfah adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pelestari plasma nutfah, yaitu :

1. sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi secara insitu;

2. sebagai habitat khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang dikembangkan.



Karateristik pepohonannya :

pohon-pohon langka dan atau unggulan setempat.

e. Tipe perlindungan adalah hutan kota yang berfungsi untuk :

1. mencegah atau mengurangi bahaya erosi dan longsor pada daerah dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai karakter tanah;

2. melindungi daerah pantai dari gempuran ombak (abrasi);

3. melindungi daerah resapan air untuk mengatasi masalah menipisnya volume air tanah dan atau masalah intrusi air laut;

Karakteristik pepohonannya :

1. pohon-pohon yang memiliki daya evapotranspirasi yang rendah.

2. pohon-pohon yang dapat berfungsi mengurangi bahaya abrasi pantai seperti mangrove dan pohon-pohon yang berakar kuat.

f. Tipe pengamanan adalah hutan kota yang berfungsi untuk meningkatkan keamanan pengguna jalan pada jalur kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi pepohonan dan tanaman perdu.

Karakteristik pepohonannya :

pohon-pohon yang berakar kuat dengan ranting yang tidak mudah patah, yang dilapisi dengan perdu yang liat, dilengkapi jalur pisang-pisangan dan atau tanaman merambat dari legum secara berlapis-lapis.


Pasal 15

Ayat (1)

Karakteristik lahan adalah bentuk/ciri bentang lahan yang khas.

Ayat (2)

Hutan kota dengan bentuk :

a. jalur adalah hutan kota yang dibangun memanjang antara lain berupa jalur peneduh jalan raya, jalur hijau di tepi jalan kereta api, sempadan sungai, sempadan pantai dengan memperhatikan zona pengaman fasilitas/instalasi yang sudah ada, antara lain ruang bebas SUTT dan SUTET.

b. mengelompok adalah hutan kota yang dibangun dalam satu kesatuan lahan yang kompak.

c. menyebar adalah hutan kota yang dibangun dalam kelompok-kelompok yang dapat berbentuk jalur dan atau kelompok yang terpisah dan merupakan satu kesatuan pengelolaan.

Untuk masing-masing kelompok baik yang berbentuk jalur atau kelompok yang terpisah luas minimum 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar tetap diberlakukan pada setiap kelompok dan bukan merupakan akumulasi luas dari kelompok-kelompok yang tersebar itu meskipun merupakan satu kesatuan pengelolaan.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Berdasarkan kondisi fisik lapangan dilakukan penataan bagian-bagian lahan sesuai dengan persyaratan teknis dan peruntukannya.

Huruf b

Kegiatan penanaman dimulai sejak persiapan tanaman (pengadaan bibit, ajir/bronjong, penyiapan lubang tanaman) dan pelaksanaan penanaman.

Huruf c

Pemeliharaan meliputi kegiatan pemupukan, penyiangan, penyulaman, pemangkasan, dan penjarangan.



Huruf d

Pembangunan sipil teknis dapat berupa terassering, sesuai kondisi setempat dan sarana penunjang lainnya.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Peraturan Daerah memuat antara lain :

a. tata cara perencanaan pembangunan;

b. tata cara pelaksanaan pembangunan.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Tanah hak yang dimintakan oleh pemegang hak untuk ditetapkan sebagai hutan kota dalam pasal ini berbeda dengan penetapan tanah hak menjadi hutan kota sebagaimana diatur dalam Pasal 7. Tanah hak yang ditetapkan menjadi hutan kota dalam pasal ini karena kesadaran pemegang hak, dapat dimintakan untuk dijadikan hutan kota.

Ayat (2)

Insentif dapat berupa :

- insentif langsung yang antara lain berbentuk subsidi finansial dan atau natura, infrastruktur, bimbingan teknis, dan atau

- insentif tak langsung yang berupa kebijakan fiskal.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Jangka waktu 15 (lima belas) tahun dimaksudkan untuk adanya jaminan terhadap pemberian insentif dan manfaat ekonomi apabila terjadi perubahan penggunaan atas tanah.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Huruf a

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Ayat (9)

Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Perubahan peruntukkan hutan kota meliputi perubahan luas, fungsi, tipe dan bentuk hutan kota.

Ayat (2)

Cukup jelas



Ayat (3)

Penelitian terpadu dimaksudkan untuk menjamin objektifitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama dengan stakeholder/pihak lain yang terkait.

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Pengelolaan hutan kota pada tanah negara yang dilakukan oleh masyarakat diberikan oleh Pemerintah Daerah melalui pemberian hak pengelolaan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 23

Huruf a

Penetapan tujuan pengelolaan yang dimaksud adalah dalam rangka optimalisasi fungsi hutan kota.

Huruf b

Penetapan program jangka pendek dan jangka panjang dengan memperhatikan lingkungan strategis.

Huruf c

Penetapan kegiatan dan kelembagaan dimaksudkan agar kegiatan dapat berjalan dengan baik, yang meliputi :

1. penetapan organisasi;

2. batas-batas kewenangan pihak terkait.

Huruf d

Sistem monitoring dan evaluasi dilakukan melalui penetapan :

1. kriteria;

2. standar;

3. indikator;

4. alat verifikasi.

Pasal 24

Optimalisasi ruang tumbuh dan diversifikasi tanaman antara lain meliputi kegiatan :

a. penyulaman;

b. penjarangan;

c. pemangkasan; dan

d. pengayaan.


Peningkatan kualitas tempat tumbuh antara lain meliputi kegiatan :

a. pemupukan;

b. penyiangan.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Indikator perubahan dan penurunan fungsi hutan kota ditunjukkan oleh penurunan kondisi di sekitar lokasi hutan kota, di antaranya suhu udara, sistem tata air, tingkat erosi, kecepatan angin, keutuhan pepohonan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan kota.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Yang dimaksud dengan mengerjakan, menggunakan dan menduduki adalah setiap kegiatan yang bermaksud untuk mengusahakan, mengubah atau memanfaatkan areal hutan kota untuk kepentingan lain.

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap tahapan-tahapan dan penyelesaian kegiatan berdasarkan rencana dan tata waktu yang telah disusun, yang meliputi pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan pemanfaatan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Pengembangan peran serta masyarakat ditempuh melalui gerakan peningkatan kesadaran akan manfaat hutan kota.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pedoman pemberian bantuan teknis meliputi pemilihan lokasi, kesesuaian jenis, teknis rehabilitasi dan konservasi.

Insentif dapat diberikan dalam bentuk penghargaan yang berupa materi atau pencantuman nama pemegang hak sebagai nama hutan kota.

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4242

source http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/29/prn,20040329-05,id.html

Label:

2. Pelestarian Plasma Nutfah

Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati (Buku I Repelita V hal. 429). Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Salah satu tanaman yang langka adalah nam-nam (Cynometra cauliflora).

3. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding dkk. dalam Smith, 1981).

Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.

4. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967). diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor (Krishnayya dan Bedi, 1986).

Dahlan (1989); Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang sedang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa tanaman berikut ini : glodogan (Polyalthea longifolia) keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

5. Penyerap dan Penjerap Debu Semen

Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya.

Studi ketahanan dan kemampuan dari 11 jenis akan yaitu : mahoni (Swietenia macrophylla), bisbul (Diospyrosdiscolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune), meranti merah (Shorealeprosula), kere payung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros clebica), duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsea roxburghii) dan sempur (Dillenia ovata) telah diteliti oleh Irawati tahun 1990. Hasil penelitian ini menunjukkan, tanaman yang baik untuk dipergunakan dalam program pengembangan hutan kota di kawasan pabrik semen, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen (Irawati, 1990).

6. Peredam Kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978).

dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang

sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

7. Mengurangi Bahaya Hujan Asam

Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses gutasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah : Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula (Smith, 1981).

Menurut Henderson et al., (1977) bahan an-organik yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui proses troughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum.

Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Hasil penelitian dari Hoffman et al. (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.

8. Penyerap Karbon-monoksida

Bidwell dan Fraser dalam Smith (1981) mengemukakan, kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas ini sebesar 12-120 kg/km2/hari.

Mikro organisme serta tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975). Inman dan kawan-kawan dalam Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

9. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen

Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menurunnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun hutan kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut.

Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.

Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (ficus benyamina).

11. Penyerap dan Penapis Bau

Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain : Cempaka (Michelia champaka) dan tanjung (Mimusops elengi).

12. Mengatasi Penggenangan

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula.

Menurut Manan (1976) tanaman penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea glauca).

13. Mengatasi Intrusi Air Laut

Kota-kota yang terletak di tepi pantai seperti DKI Jakarta pada beberapa tahun terakhir ini dihantui oleh intrusi air laut.

Pemilihan jenis tanaman dalam pembangunan hutan kota pada kota yang mempunyai masalah intrusi air laut harus betul-betul diperhatikan karena:

  1. Penanaman dengan tanaman yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang sedang-agak tinggi akan mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, bahkan mungkin akan mengalami kematian.
  2. Penanaman dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang tinggi akan menguras air dari dalam tanah, sehingga konsentrasi garam adalah tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan bukan lagi memecahkan masalah intrusi air asin, malah sebaliknya akan memperburuk keadaannya.

Upaya untuk mengatasi masalah ini sama dengan upaya untuk meningkatkan kandungan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah.

14. Produksi Terbatas

Hutan kota berfungsi in-tangible juga tangible. Sebagai contoh, pohon mahoni di Sukabumi sebanyak 490 pohon telah dilelang dengan harga Rp. 74 juta (Pikiran Rakyat, 18-3-1991). Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji atau buah yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan warga masyarakat dapat meningkatkan taraf gizi/kesehatan dan penghasilan masyarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. Bunga tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista, pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkatkan gizi dan kesehatan warga kota.

15. Ameliorasi Iklim

Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan.

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983).

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang.

Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

  1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0° C dengan kelembaban 66-92%.
  2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1° C dengan kelembaban 62-78%.
  3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1° C dengan kelembaban 62-78%.

Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di beberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, hutan memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton.

16. Pengelolaan Sampah

Hutan kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal : (1) sebagai penyekat bau (2) sebagai penyerap bau (3) sebagai pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah (4) sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya.

17. Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky, 1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan.

Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah. Dengan demikian hutan kota yang dibangun pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

Menurut Manan (1976) tanaman yang mempunyai daya evapotrnspirasi yang rendah antara lain : cemara laut Casuarina equisetifolia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).

Po. K (1 + r - c)t - PAM - Pa
La = ----------------------------------
z

La : luas hutan kota yang harus dibangun
Po : jumlah penduduk
K : konsumsi air per kapita 1/hari)
r : laju peningkatan pemakaian air
c : faktor pengendali
PAM : kapasitas suplai perusahaan air minum
t : tahun
Pa : potensi air tanah
z : kemampuan hutan kota dalam menyimpan air

18. Penapis Cahaya Silau

Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi.

Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya.

19. Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik.

Benda-benda buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, warna dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia.

Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang nuansa (bergradasi lembut).

Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti : tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya hutan kota sebagai tabir penyekat di sana.

20. Sebagai Habitat Burung

Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam (back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan.

Salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :

  1. Membantu mengendalikan serangga hama,
  2. Membantu proses penyerbukan bunga,
  3. Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,
  4. Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan,
  5. Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,
  6. Sebagai sumber plasma nutfah,
  7. Objek untuk pendidikan dan penelitian.

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra di antaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya.
Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung antara lain :

  1. Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F. variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti punai (Treron sp.).
  2. Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yangtengah berbunga antara lain : betet (Psittacula alexandri), serindit (Loriculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis burung madu.
  3. Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya yang berwarna merah menarik burung ungkut-ungkut dan srigunting.
  4. Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.
  5. Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola speciosa) dan manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti : burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala tebal bakau ( Pachycephala cinerea) dan perenjak kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya.

21. Mengurangi Stress

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Petugas lalu lintas sering bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monoksida (Soemarwoto, 1985). Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.

Program pembangunan dan pengembangan hutan kota dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai hutan kota. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. Hutan kota juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.

22. Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi

Hutan kota berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Dengan demikian hutan kota selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.

23. Meningkatkan Industri Pariwisata

Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) di Kebun raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dilengkapi dengan hutan kota yang unik, indah dan menawan.

24. Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif, akan dapat menghilangkan monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kerja.

BAB V. TIPE DAN BENTUK HUTAN KOTA

1. Tipe Hutan Kota

Hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan kota dengan tipe pemukiman. Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.

Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.

Kota yang memiliki kuantitas air tanah yang sedikit dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air. Maka hutan yang cocok adalah hutan lindung di daerah tangkapan airnya.

a. Tipe Pemukiman

Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Taman adalah sebidang tanah terbuka dengan luasan tertentu di dalamnya ditanam pepohonan, perdu, semak dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari bahan lainnya. Umumnya dipergunakan untuk olah raga, bersantai, bermain dan sebagainya.

b. Tipe Kawasan Industri

Suatu wilayah perkotaan pada umumnya mempunyai satu atau beberapa kawasan industri. Limbah dari industri dapat berupa partikel, aerosol, gas dan cairan dapat mengganggu kesehatan manusia. Di samping itu juga dapat menimbulkan masalah kebisingan dan bau yang dapat mengganggu kenyamanan.

Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap polutan. Dewasa ini juga tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman terhadap polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri.

c. Tipe Rekreasi dan Keindahan

Manusia dalam kehidupannya tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah seperti makanan dan minuman, tetapi juga berusaha memenuhi kebutuhan rohaniahnya, antara lain rekreasi dan keindahan. Rekreasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan manusia untuk memanfaatkan waktu luangnya (Douglass, 1982). Pigram dalam Mercer (1980) mengemukakan bahwa rekreasi dapat dibagi menjadi dua golongan yakni : (1) Rekreasi di dalam bangunan (indoor recreation) dan (2) Rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation). Brockman (1979) mengemukakan, rekreasi dalam bangunan yaitu mendatangkan pengalaman baru, lebih menyehatkan baik jasmani maupun rohani, serta meningkatkan ketrampilan.

Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan, peningkatan sarana transportasi, peningkatan sistem informasi baik cetak maupun elektronika, semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat stress.

Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, supaya siap menghadapi tugas yang baru. Untuk mendapatkan kesegaran diperlukan suatu masa istirahat yang terbebas dari proses berpikir yang rutin sambil menikmati sajian alam yang indah, segar dan penuh ketenangan.

d. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah

Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Ada 2 sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu :

  1. Sebagai tempat koleksi plasma nutfah, khususnya vegetasi secara ex-situ.
  2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan

Manusia modern menginginkan back to nature. Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu, khususnys burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk bertelur.

Hutan yang terdapat di pesisir pantai menghasilkan bahan organik. Dedaunan yang jatuh ke air laut kemudia dapat berubah menjadi detritus. Pada permukaan detritus dapat menjumpai mikroorganisme air. Sebagian hewan merupakan pemakan detritus (detritus feeder). Nampaknya organisme yang memakan detritus ini, sesungguhnya memangsa mikroorganismenya, karena mikroorganisme mengandung protein, karbohidrat dan lain-lain. Apabila hutan ini hilang, maka detritus tidak tersedia lagi dan akibatnya hewan pemakan detritus pun akan musnah.

e. Tipe Perlindungan

Selain dari tipe yang telah disebutkan di atas, areal kota dengan mintakat ke lima yaitu daerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran.

Hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk beberapa kota masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat penting.

Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya. Dengan demikian ancaman bahaya intrusi air laut dapat dikurangi.

f. Tipe Pengamanan

Yang dimaksudkan hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi.

Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang tidak mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya. Tanaman yang tidak enak rasanya seperti pisang hutan dapat dianjurkan untuk ditanam di sini.

2. Bentuk Hutan Kota

a. Jalur Hijau

Pohon peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai di dalam kota atau di luar kota dapat dibangun dan dikembangkan sebagai hutan kota guna diperoleh manfaat kualitas lingkungan perkotaan yang baik. Tanaman yang ditanam pada daerah di bawah jalur kawat listrik dan telepon diusahakan yang rendah saja, atau boleh saja dengan tanaman yang dapat menjulang tinggi, namun pada batas ketinggian tertentu harus diberikan pemangkasan.

Kawasan riparian seperti : delta sungai, kanal, saluran irigasi, tepian danau dan tepi pantai dapat merupakan bagian lokasi dari kegiatan pengembangan hutan kota. Penanaman tanaman di kawasan ini diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas air serta untuk memperkecil erosi.

Seperti telah disebutkan di atas, jalur hijau di tepi jalan bebas hambatan yang terdiri dari jalur tanaman pisang dan jalur tanaman yang merambat serta tanaman perdu yang liat yang ditanam secara berlapis-lapis diharapkan dapat berfungsi sebagai penyelamat bagi kendaraan yang keluar dari badan jalan. Sedangkan pada bagian yang lebih luar lagi dapat ditanami dengan tanaman yang tinggi dan rindang untuk menyerap pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor.

b. Taman Kota

Taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah.

Setiap jenis tanaman mempunyai karakteristik tersendiri baik menurut bentuk, warna dan teksturnya. Ada pohon yang bentuk tajuknya kecil tinggi dan lurus (cemara lilin), tajuk pohon berbentuk piramida (cemara) dan ada juga yang bentuk tajuknya besar, bulat dan rindang (beringin).

Tekstur daun dapat pula dijadikan bahan pertimbangan dalam suatu komposisi taman. Ada daun dengan tekstur yang kasar (Ficus elastica), tekstur sedang (duren) dan ada yang halus (lamtoro).

Bentuk percabangan juga dapat dijadikan sebagai komponen dari suatu komposisi. Ada beberapa bentuk percabangan seperti : mendatar, menyudut (acute), menjumbai (weeping) dan tegak.

c. Kebun dan Halaman

Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah seperti : mangga, durian, sawo, rambutan, jambu, pala, jeruk, delima, kelapa dan lain-lain serta dari jenis yang tidak diharapkan hasil buahnya seperti : cemara, palem, pakis, filisium dan beberapa jenis lainnya.

Halaman rumah dapat memberikan prestise tertentu. Oleh sebab itu halaman rumah ditata apik sedemikian rupa untuk mendapatkan citra, kebanggaan dan keindahan tertentu bagi yang empunya rumah maupun orang lain yang memandang dan menikmatinya. Maka halaman tidak hanya ditanam dengan tanaman seperti tersebut di atas, namun dilengkapi juga dengan tanaman bebungaan yang indah. Tanaman lainnya yang dapat dijumpai adalah : sayuran, empon-empon dan tanaman apotik hidup lainnya. Pada halaman rumah pun dapat dijumpai unggas, ikan dan heawan lainnya.

Menurut Soemarwoto (1983) tanaman halaman rumah mempunyai fungsi integrasi antara fungsi alam hutan dengan fungsi sosial-budaya-ekonomi masyarakat.

d. Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang

Kebun raya, hutan raya dan kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota.
Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain, baik dari daerah lain di dalam negeri maupun di luar negeri.Soemarwoto (1983) berpendapat, kebun raya ada yang bersifat ekonomi dan yang bertujuan utama untuk ilmiah.

e. Hutan Lindung

Mintakat kota ke lima yaitu darah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut, hendaknya dijadikan hutan lindung.

f. Kuburan dan Taman Makam Pahlawan

Pada tempat pemakaman banyak ditanam pepohonan. Nampaknya sebagai manifestasi kecintaan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal tak akan pernah berhenti, selama pohon tersebut masih tegak berdiri. Personifikasi ini nampaknya menyatakan bahwa dengan melalui tanaman dapat digambarkan bahwa kehidupan tidaklah berakhir dengan kematian, namun kematian adalah awal dari kehidupan.

BAB VI. PEMBANGUNAN HUTAN KOTA

1. Perencanaan

Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi : lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek tehnik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, tehnik pengelolaan lingkungan.

Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi : (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR,RTK,RTH), serta
(5) Bahan-bahan penunjang lainnya.

Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni:

  1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
  2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing- masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya.
  3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.

2. Kelembagaan dan Organisasi Pelaksanaannya

Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasiannya pembangunan dan pengelolaan hutan adalah seperti tercantum pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan yang lainnya menurut kebutuhan masing- masing kota atau daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya.

Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya kiranya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.

3. Pemilihan Jenis

Guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu dengan baik.

Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

  1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude,salinitas dan lain-lain.
  2. Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
  3. Persyaratan silvikultur: kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
  4. Persyaratan umum tanaman:

Tahan terhadap hama dan penyakit,

Cepat tumbuh,

Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,

Mempunyai umur yang panjang,

Mempunyai bentuk yang indah,

Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,

Kompatibel dengan tanaman lain,

Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,

  1. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan:

Mudah tumbuh pada tanah yang padat,

Tidak mempunyai akar yang besar di permukaan tanah,

Tanah terhadap hembusan angin yang kuat,

Dahan dan ranting tidak mudah patah,

Pohon tidak mudah tumbang,

Buah tidak terlalu besar,

Serasah yang dihasilkan sedikit,

Tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri,

Luka akibat benturan mobil mudah sembuh,

Cukup teduh, tetapi tidak terlalu gelap,

Kompatibel dengan tanaman lain,

Daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah,

Mati,
Membahayakan,
Saling berhimpitan,
Pohon terkena penyakit dan dapat mengancam pohon-pohon lain,
Pohon-pohon pada jalur jalan dan bangunan,
Mengganggu jalur listrik dan telepon.

Beberapa metoda yang dapat dipergunakan untuk menebang pohon adalah :

a. Tumpangan (Toping)

Cara ini sangat biasa dipakai untuk menebang kayu di hutan. Penebang (belandong) pertama-tama akan menentukan arah rebah. Takik rebah dan takik balas dibuat baik dengan gergaji maupun dengan kapak. Cara ini hanya dapat dilakukan di daerah yang luas dan jauh dari jalan raya, pemukiman, jalur listrik, telepon dan lain-lain.

b. Penggalan (Sectioning)

Pemanjat pohon yang telah dilengkapi dengan tali pengaman yang dikaitkan ke tubuhnya kemudian memanjat pohon. Pemanjat menuju cabang pertama kemudian memotong dengan gergaji mesin atau kapak dan memotong cabang tersebut. Kemudian naik lagi dan memotong cabang yang lain dengan cara bersandar pada cabang lain yang aman. Demikian selanjutnya, pekerjaan diteruskan sampai ke atas. Pada saat tersebut, orang yang berada di tanah memotong-motong cabang dan ranting yang baru jatuh.

Setelah cabang-cabang terpotong, orang yang berada di bawah mulai membereskan cabang-cabang tersebut. Kemudian pemanjat turun dan pekerjaannya digantikan oleh yang lain untuk memenggal pohon bagian demi bagian yang dimulai dari bagian atas.

Bila pohon yang hendak ditebang memiliki dahan yang panjang, melintang di atas rumah, pagar, tanaman berharga dan kabel listrik, maka salah satu cara adalah dengan menggunakan tali.

Pengikatan, pemotongan dan penurunan, bagian demi bagian, walaupun ketinggalan jaman, tetapi kadang-kadang merupakan jalan yang terbaik.

c. High-lining

Cara lain yang menarik adalah high-lining. Jika pohon yang akan dipotong dikelilingi oleh benda-benda berharga yang tidak dapat disingkirkan, maka cabang dapat dipotong bagian demi bagian dan dijatuh-arahkan ke sasaran yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan dengan jalan menambatkan salah satu ujung tambang yang kuat pada pohon dan ujung lain di lokasi sasaran yang menjadi tempat jatuhnya bagian-bagian pohon. Tambang tersebut diusahakan mempunyai sudut kemiringan yang cukup. Tidak terlalu tajam, agar bagian pohon tidak meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, namun sebaliknya tidak terlalu landai. Jika sudut kemiringan tambang terlalu landai, maka jatuhnya dahan tersebut mungkin akan terganggu, bahkan terhenti selain itu membutuhkan areal yang lebih jauh. Operasi pemindahan potongan cabang pohon ini berdasarkan gaya gravitasi. Dengan cara ini semua cabang dapat dipindahkan ke tempat lain dengan aman. Penebangan pohon dilakukan seperti pada cara penggalan.

d. Potong bawah (Bottoming)

Penebangan dengan cara menumbangkannya serta pembagian batang bagian demi bagian dari ujung sampai ke pangkal merupakan dua cara standar dalam penebangan pohon. Cara lainnya yang jarang ditemui adalah potong bawah (bottoming). Cara ini merupakan kebalikan dari cara yang telah dijelaskan terlebih dahulu (Haller, 1986).

Teknik ini hanya dapat dilakukan bila ada satu atau lebih pohon lain yang berukuran sama atau lebih besar di dekat pohon yang akan ditebang. Dalam cara ini, tali diikatkan di sekeliling tajuk pohon yang akan ditebang ke pohon yang tidak ditebang. Pohon yang telah diikat dengan tali di sekitar puncaknya kemudian bagian pangkalnya digergaji. Bagian pangkal/bawah dari pohon dipotong dengan posisi tetap berdiri. Panjang bagian batang yang dipotong sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah pemotongan pohon diturunkan dengan cara mengulurkan tali sambil menjaga agar batang tetap tegak, kemudian sedikit demi sedikit pohon dipotong lagi. Demikian seterusnya sampai pohon habis terpotong.

BAB VIII. ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Telah dijelaskan pada Bab I bahwa dalam sejarah perkembangan peradabannya, manusia semula selalu bersahabat dengan alam. Rumah tempat tinggal manusia yang dekat dengan hutan, akan akrab dengan flora dan fauna. Sedangkan yang tinggal dekat dengan laut sangat akrab dengan deburan ombak, hembusan angin, hutan pantai dan bakau. Namun dengan berkembangnya pemukiman dari desa yang kecil dan sederhana menjadi kota yang besar dan kompleks mengakibatkan terjadinya pelepasan diri manusia bahkan ada kecenderungan untuk "menghancurkan" hutan. Hasilnya baru kemudian dirasakan adalah menurunnya kualitas lingkungan hidup.

Beberapa kota besar telah membangun dan mengembangkan hutan kota untuk mengantisipasi masalah tersebut di atas, namun ada juga pembangunan hutan kotanya masih dalam tarap perencanaan.

Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tingkat I Bali pada tanggal 25 April 1991 telah mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Daerah Tk I tentang rencana pembangunan hutan kota di propinsi Bali. Juru bicara fraksi tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa jangan sampai tanah sudah habis dibangun, baru mencari tanah untuk hutan kota (Pedoman Rakyat, 25-4-1991).

Pada tanggal 2 Mei 1990 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia juga mempertanyakan tentang realisasi pembangunan hutan kota di Jakarta. Target penghijauan di Jakarta baru terealisasi 10% saja (Kompas, 26-10-1990). Padahal menurut rencana luasan lahan yang harus dihijaukan adalah sekitar 40% dari luas 650 km2. Menurut Rencana Induk 1965-1985 (tahun 1977) luasan lahan yang harus dihijaukan di Jakarta adalah 23.750 Ha (Kompas, 26-10-1990). Pada kenyataannya taman-taman di Jakarta sebanyak 181 dari 394 taman telah berubah fungsi menjadi lokasi pedagang kaki lima, gardu listrik, pompa bensin dan kantor RW (Suara Pembaruan, 2-5-1990).

Soeriatmadja dalam Seminar Penghijauan Kota yang diselenggarakan oleh Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung dan Pikiran Rakyat menyatakan tahun 1961 kota Bandung yang luasnya 8.098 Ha terdiri dari taman alam dan buatan seluas 3.431 Ha. Namun setelah 20 tahun kemudian hanya tinggal 716 Ha saja (Suara Pembaruan, 29-1-1991). Perhitungan yang dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen berdasarkan Rumus Gerakis pada tahun 1988 di Kotamadya Bandung mestinya sudah harus tersedia penghijauan sebesar 5.093,61 Ha (Ryanto, 1989).

Beberapa hambatan yang dijumpai dan sering mengakibatkan kurang berhasilnya program pengembangan hutan kota antara lain:

  1. Terlalu terpaku kepada anggapan bahwa hutan kota harus dan hanya dibangun di lokasi yang cukup luas dan mengelompok.
  2. Adanya anggapan bahwa hutan kota hanya dibangun di dalam kota, padahal harga lahan di beberapa kota besar sangat mahal. Harga tanah misalnya di Jakarta di kawasan Jl. Jend. Sudirman Rp. 5,5 juta/m2, di Jl. Gatot Subroto Rp. 3,5 juta/ m2 dan di kawasan Jl. Rasuna Said Rp. 2,2 juta/m2 (Suara Pembaruan, 7-11-1990).
  3. Adanya konflik dari berbagai kepentingan dalam peruntukan lahan. Biasanya yang menang adalah yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Karena hutan kota tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, maka lahan yang semula diperuntukkan bagi hutan kota, atau yang semula telah dibangun hutan kota, pada beberapa waktu kemudian diubah peruntukannya menjadi supermarket, real-estate, perkantoran dan lain-lain.
  4. Adanya penggunaan lain yang tidak bertanggung jawab seperti:
    - Bermain sepak bola,
    - Tempat kegiatan a-susila,
    - Tempat tuna wisma,
    - Pohon sebagai tempat cantolan kawat listrik dan telepon,
    - Pangkal pohon sering dijadikan sebagai tempat untuk membakar sampah,
    - Sebagai tempat ditancapkannya reklame dan spanduk.
    - Vandalisme dalam bentuk coretan dengan cat atau goresan dengan pisau.
    - Gangguan binatang : anjing, kucing, tikus dan serangga.

Beberapa upaya penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan- hambatan tersebut di atas antara lain:

  1. Hutan kota dapat dibangun pada tanah yang kosong di kawasan : pemukiman, perkantoran dan industri, tepi jalan, tikungan perempatan jalan, tepi jalan tol, tepian sungai, di bawah kawat tegangan tinggi, tepi jalan kereta api dan berbagai tempat lainnya yang memungkinkan untuk ditanami.
  2. Pengukuhan hukum terhadap lahan hutan kota. Dengan demikian tidak terlalu mudah untuk merubah kawasan ini menjadi peruntukan lain.
  3. Pembuatan dan penegakan sanksi bagi siapa yang menggunakan lahan hutan kota untuk tujuan-tujuan tertentu di luar peruntukannya.
  4. Sanksi yang cukup berat bagi siapa saja yang melakukan vandalisme.
  5. Melindungi tanaman dengan balutan karung atau membuat pagar misalnya dari bambu, agar binatangtidak mudah masuk dan merusak tanaman.

IX. PENUTUP

Masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah : (1) dukungan dari penentu kebijakan, (2) dukungan finansial, (3) dukungan masyarakat, dan (4) tenaga ahli. Oleh karena itu untuk memperoleh keberhasilan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia dukungan-dukungan seperti yang telah disebutkan di atas perlu disempurnakan secara sungguh-sungguh.

Ilmu hutan kota merupakan suatu disiplin ilmu yang relatif baru, namun sangat perlu dan segera harus dikembangkan, karena mempunyai keuntungan antara lain:

  1. Melalui penyuluhan hutan kota kepada masyarakat dapat disampaikan tentang pentingnya menciptakan lingkungan hidup di perkotaan yang sehat, indah, bersih, nyaman dan alami, sehingga dapat dijadikan sebagai komponen pelengkap dalam mewujudkan kemajuan, ketahanan dan masa depan bangsa Indonesia. Usaha penataan kota seperti yang telah dilakukan oleh beberapa kota seperti : Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya diharapkan akan berjalan lebih pesat lagi dan dapat diikuti dengan beberapa kota lainnya.

  2. Turut mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan.

  3. Sebagai salah satu bukti nyata tentang keterlibatan disiplin ilmu kehutanan dalam memecahkan masalah lingkungan global.

  4. Menciptakan lapangan kerja baru bagi sarjana kehutanan dan lulusan sekolah dibawahnya.

  5. Turut serta dalam menangkal kampanye Anti Penggunaan Kayu Tropis.

  6. Turut mensukseskan program kunjungan wisata ke Indonesia.

  7. Mengubah persepsi masyarakat barat yang tidak tepat.

  8. Membantu pemerintah dalam program udara bersih (PRODASIH)

source dephut


Label: