Sabtu, 15 September 2007

Hutan Kota, Potensi Wisata yang Terlupakan




SH/Tinnes Sanger
Danau buatan di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat (atas).


Jakarta – Hutan kota seringkali terlupakan keberadaannya. Hadir di tengah impitan pembangunan fisik kota yang kian pesat. Salah satu ruang terbuka hijau itu tampak hanya sekadar pajangan, pelengkap dalam sebuah kebutuhan penataan ruang. Warga kota pun banyak yang memandang sebelah mata. Padahal, ada beragam potensi wisata yang bisa digali.

Seiring meningkatnya taraf hidup, kemampuan dan kebutuhan manusia, maka sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an ruang terbuka hijau banyak dialih-fungsikan menjadi pemukiman, bandar udara, industri, jalan raya, bangunan perbelanjaan dan lain-lain. Dengan semakin meningkatnya kemampuan dan kesejahteraan masyarakat, pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat. Namun peningkatan itu membawa dampak negatif, salah satunya penyusutan luas lahan bervegetasi.
Susutnya lahan bervegetasi mendorong penghuni kota berbondong-bondong pergi ke luar kota, mencari daerah hijau yang masih tersisa. Di tengah persaingan hidup yang kian meninggi, kebutuhan rekreasi menjadi mutlak adanya.
Akhirnya sebuah pemandangan yang jamak bisa kita saksikan. Tiap akhir pekan atau masa libur, warga kota papan atas ramai-ramai ”mengungsi” ke daerah hijau nan sejuk. Umumnya, ruang hijau itu berada di luar kota. Kalau buat orang Jakarta kawasan paling dekat adalah kawasan Puncak dan sekitarnya.
Bagi warga yang tak berduit keluar kota adalah sebuah impian. Itu sebabnya ruang terbuka pengundang keramaian di dalam kota, seperti kebun binatang, taman rekreasi, kawasan pinggir pantai dan lainnya jadi sasaran utama. Pokoknya, dengan bujet yang pas-pasan, mereka berharap kebutuhan relaksasi tetap bisa terpenuhi. Murah meriah namun tetap dapat unsur pelesirannya.
Pada waktu tertentu, liburan sekolah atau hari raya, ruang terbuka yang hijau ini selalu dipadati pengunjung. Menurut Ning Purnomohadi, seorang praktisi lingkungan, kejadian seperti itu sebetulnya bisa dihindari. Kalau warga jeli, ada ruang terbuka hijau di dalam kota lainnya yang bisa dimanfaatkan sebagai ajang pelesiran. Sebagai contoh, Ning lantas menunjuk hutan kota.
Dari 16 lokasi hutan kota di Jakarta, kami memilih beberapa sebagai lokasi contoh. Di antaranya, hutan kota Srengseng. Hutan kota ini terletak di wilayah kota Jakarta Barat, Kecamatan Kembangan, Kelurahan Srengseng. Kawasan ini bertipe hutan kota konservasi resapan air, seluas 15 ha.
Hutan kota Srengseng punya bentang alam yang cukup beragam, dari lahan datar, bergelombang sampai danau serta pulau yang ada di tengah kawasan. ”Luas danau itu kira-kira tujuh ribu meter persegi,” sebut Iwa Kustiwa, penanggung jawab hutan kota Srengseng.
Setiap hari ada saja yang mencoba peruntungan di danau ini. Lebih dari setengah hari, mereka betah duduk di pinggir sambil berharap ada umpan yang disambar ikan penghuni danau. Kata Iwa, ikan di danau itu berasal dari pelepasan ketika kawasan ini pertama kali dibuka, sekitar 1995.
Selain aktivitas memancing, jalan-jalan keliling hutan juga menarik. Sebab ada 68 jenis pohon yang ditanam. Sebut saja, Rambutan Irian, Kayu Manis, Tanjung, Pilang, Buah Nona, Buni, Saga, Bambu Kuning, Bintaro, Mahoni, Asam Ranji, Jati Lampung, Dadap Merah dan masih banyak lagi.
Tak jarang, di balik tajuk tanaman pelindung itu terdengar kicauan burung. Kalau rajin mengintip dengan teropong sosok cerucuk, burung gereja, kutilang, tekukur dan cabe-cabean terlihat jelas. Seperti kata Ria Saryanthi dari BirdLife Indonesia, birdwatching di hutan kota tak kalah menarik dengan di hutan luar kota.
Di sebelah utara danau, tumbuh warung-warung makanan dan minuman. Ada delapan warung yang konstruksinya terbuat dari bambu. Ketika kami melintas, ada beberapa pasang muda-mudi yang sedang menikmati kopi dan rokok.
Kalau mau santai bareng keluarga juga sangat memungkinkan. Gelar tikar sambil membuka bungkusan timbel tidak diharamkan di sini. Tapi yang harus diingat, sampah-sampahnya harus dikumpulkan. Berhubung tempat sampah di hutan ini masih minim, lebih baik bawa pulang saja sampah itu. Terutama sampah non-organik yang tidak mudah hancur.
Kalau melihat kelengkapan hutan kota Srengseng sebetulnya sudah cukup untuk mengundang wisatawan lokal untuk mencicipi pelesiran alami. Di beberapa bagian kondisinya cukup memprihatinkan, contohnya lampu penerang yang sudah lenyap entah ke mana. Ruang informasi sudah ada tapi belum berfungsi maksimal.
Walau terbukti ada beragam potensi wisata, kawasan ini hanya sanggup menarik segelintir orang. Seolah-olah mereka terlupa dengan keberadaan hutan ini. Angka kunjungan paling ”top” dicapai pada Sabtu-Minggu, sekitar 80 orang. Padahal, harga tiket masuknya sangat murah, cuma gopek alias lima ratus perak per orang. Buat mobil bayar Rp 2.500, motor seribu perak.
Kelupaan masyarakat pada hutan kota boleh jadi karena minimnya informasi dan promosi. ”Gimana mau datang, kalau nggak pernah ada promosi tentang hutan kota Srengseng. Jadi wajarlah, kalau nggak semua orang Jakarta Barat tahu ada hutan ini,” alasan Iwa dengan semangat. Selain brosur wisata, jalan promosi itu bisa dilakukan dengan pemberian papan penunjuk arah.
Usul itu masuk akal. Kami sendiri sempat mengalami kesulitan mencari saat mencari hutan kota Kemayoran, di wilayah Jakarta Utara. Tiap orang yang dijumpai di seputar bekas landas pacu bandara itu hanya mengangkat bahu atau mengernyitkan dahi ketika ditanyai lokasi hutan ini.(SH/bayu dwi mardana).

dikutip darii http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/032/wis01.html

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda